Pada dasarnya lembaga kemahasiswaan adalah sarana aktualisasi diri mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa sebagai elite minority beruntung mendapatkan pendidikan lebih tinggi dibandingkan masyarakat kebanyakan. Di kampus mereka menerima dan mencari ilmu yang sesuai dengan disiplin studi masing-masing. Akan tetapi, disiplin ilmu yang mereka tekuni tidaklah cukup untuk menciptakan keparipurnaan dalam diri mereka. Untuk itu mahasiswa dipandang perlu untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang mengejewantah dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan (ormawa) yang merupakan lembaga kemahasiswaan resmi di kampus.
Fungsi ormawa sebagai sarana aktualisasi diri ini hendaknya dicamkam oleh aktivis mahasiswa-begitu mereka menyebut diri- sebelum memutuskan beraktivitas di lembaga kemahasiswaan tertentu. Hal ini perlu disadari karena menjadi pegiat ormawa tidak digaji dan tanpa paksaan. Jika nawaitu-nya sudah benar diyakini mahasiswa tidak akan menyia-nyiakan kesempatan berkiprah di lembaga di lembaga kemahasiswaan karena masa di kampus singkat dan tidak terulang kedua kali seumur hidup.
Berbicara tentang konsep lembaga kemahasiswaan yang ideal ada baiknya kita menengok sedikit ke belakang. Sebelum Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) diberlakukan oleh rezim otoritarian Orde Baru melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, lembaga kemahasiswaan sangat powerful. Senat Mahasiswa memiliki pengaruh besar dan ditakuti karena gencar mengkritik penguasa bahkan meminta Soeharto mundur. Pasca NKK/BKK sampai sekarang, gerakan mahasiswa dilembagakan dan kampus diberi kuasa penuh mengontrol organisasi mahasiswa. Dampaknya, gerakan mahasiswa terkekang birokrasi kampus. Semua ormawa bertanggung jawab pada Wakil/Pembantu Rektor/Dekan bidang kemahasiswaan. Untuk bisa bekerja,keuangan ormawa diberikan dengan sistem Surat Pertanggung Jawaban (SPJ). Masalah timbul karena sistem ini menjustifikasikan ormawa melakukan tindak manipulatif. Praktik ini tidak bisa dihindari karena sistem SPJ mengharuskan mereka mereka-reka rancangan anggaran belanja.
Seiring perjalanannya, ormawa di kampus berkembang ke dalam dua faksi: ormawa yang bersifat politis, seperti:Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Himpunan Mahasisawa Jurusan (HMJ) dan ormawa yang bersifat kekaryaan atau minat bakat yang menjelma dalam bentuk Unit-unit Kegiatan Mahasisawa (UKM). Dalam perkembangannya, kadang terjadi tumpang tindih program antar ormawa. Hal ini dapat dipahami karena tiap-tiap ormawa memiliki keleluasaan mengembangkan program kerja masing-masing. Kondisi ini menurut hemat penulis dapat diatasi dengan meningkatkan koordinasi serta memaknai kembali peran dan fungsi ormawa.
Sekalipun antara BEM/HMJ dengan UKM tidak terdapat hubungan yang saling mengikat, namun tidak berarti diantara mereka nihil kepentingan sama sekali. Keduanya merupakan mitra strategis. Sebaiknya BEM/HMJ dengan UKM sering berkoordinasi menyangkut program kerja. Karena BEM/HMJ memiliki 'beban lebih' selaku wakil mahasiswa bisa saja program kerja yang bersifat kekaryaan dilimpahkan ke UKM, sementara BEM/HMJ cukup menjadi sponsor saja. Beban lebih ini adalah tuntutan aktivis BEM/MPM/HMJ yang harus menjadi social control. Seringkali kebijakan kampus dan kebijakan pemerintah terhadap masyarakat memanggil mereka untuk memberikan perhatian dan keterlibatan. Mereka harus terbiasa dengan diskusi publik, debat sosial politik, bahkan demonstrasi. Hal yang kadang dihindari bahkan menjadi 'alergi' bagi mahasiswa biasa.
Koordinasi teratur dan rutin antar ormawa hendaknya terus dilakukan. Sekalipun tidak terikat secara hierarkis, kebijakan-kebijakan strategis kampus yang bersinggungan dengan mahasiswa kadang tidak cukup dipikirkan oleh ormawa 'politis' semata. Egosentrisme ormawa harus dikikis jika terdapat permasalahan kampus yang menuntut perhatian dan keterlibatan bersama.
Paris van Java, Medio Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar