Page

Sabtu, 22 Mei 2010

Mahasiswa Baru dan Kesadaran Berpolitik di Kampus


Mahasiswa adalah sekelompok elit masyarakat yang mendapat pendidikan di atas rata-rata masyarakat awam. Sekalipun diidentikkan sebagai minoritas elit tetapi seorang mahasiswa haruslah sadar bahwa tidak ada waktu baginya berleha-leha apalagi berpikir pada koridor masalah klasik nan sepele. Atmosfer yang harus dibangun dikalangan mahasiswa adalah dialektika intelektual yang mengedepankan solusi dan membahas masalah-masalah yang lebih bersifat substansial.
Membaca Harian Singgalang Edisi Minggu 16 Agustus 2009 berjudul “Ketika Mahasiswa Baru jadi Objek Politik Senior”, penulis merasa ‘tergelitik’ memberikan tanggapan atas tulisan diatas yang menurut hemat penulis bersifat sentimental (berlebih-lebihan) dan menyebarkan pragmatisme sempit yang akhirnya tidak membuahkan hal-hal yang solutif malah lebih bersifat menghasut dan berbau SARA.
Dalam tulisannya sang penulis yang anonim (tidak mencantumkan nama) telah melakukan segmentasi mahasiswa di kampus ke dalam mahasiswa forum, kafe, dan netral. Kemudian ada senior baik, senior usil dan senior pura-pura. Entah parameter apa yang digunakan beliau untuk mengkotak-kotakkan mahasiswa. Bagaimanapun kenyataan di lapangan tidak seekstrim yang ditulis beliau. Sepanjang pengamatan penulis, mahasiswa forum (mungkin maksudnya aktivis/pegiat lembaga dakwah kampus) ada juga yang memakai celana jeans atau celana gunung dan banyak juga mahasiswa kafe (barangkali mahasiswa jenis ini tidak sempat pulang makan dan menunggu pertukaran jam kuliah dikedai atau kafe) yang berpakaian necis dengan celana bahan dan kemeja dimasukkan ke dalam. Tetapi bak pepatah Inggris don’t judge a book by its cover (sebuah buku janganlah dinilai dari sampulnya saja). Tentu sangat tidak cerdas menilai mahasiswa dari tampilan fisiknya semata. Penulis lebih tertarik membahas tesis bahwa mahasiswa baru telah dijadikan objek politik para senior.
Kaum intelektual muda (mahasiswa) menurut Ong Kok Ham, kemunculannya bukan merupakan sesuatu yang baru di panggung sejarah politik Indonesia. Mahasiswa dianggap sebagai golongan yang sedang terintegrasikan ke dalam dunia politik dewasa. Di kampus mahasiswa belajar politik secara mandiri (diluar mahasiswa fakultas FISIP) sehingga muncullah ‘republik mahasiswa’, ’majelis perwakilan mahasiswa’, ‘presiden mahasiswa’ dan lainnya. Layaknya sebuah negara maka ‘negara mahasiswa’ yang demokratis pastilah menjamin keragaman ideologis di antara ‘rakyatnya’ (mahasiswa). Karena itu pembagian mahasiswa ke dalam kelompok forum, kafe dan netral adalah dangkal dan insubstansial.
Ideologisasi gerakan mahasiswa terlihat dari organ-organ gerakan mahasiswa yang mengusung ideologi tertentu. Misal: Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII-Islam tradisionalis ala NU), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI-Islam moderat ala komunitas Tarbiyah), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-nasionalis sekuler), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI-Kristen Nasionalis), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND-sosialis kiri) dan sebagainya.
Dalam rangka mewujudkan demokratisasi kampus, istilah demokrasi di kampus bermakna “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, dan untuk mahasiswa”, karena itu seleksi kepemimpinan di kampus harus dilakukan lewat cara-cara yang demokratis. Kita patut mengapresiasi kampus-kampus yang telah melakukan pemilihan raya (pemira) mahasiswa dalam pemilihan entah itu mahasiswa yang hendak duduk di legislatif maupun eksekutif. Pemira memungkinkan dilibatkannya segenap unsur mahasiswa ketimbang musyawarah besar atau kongres yang biasanya dilakukan di ruangan tertutup dan menutup peluang setiap individu mahasiswa berpartisipasi.
Menurut Max Weber pemimpin tidak hanya dilahirkan tetapi dapat dibentuk. Kepemimpinan yang diperoleh lewat karismatis dan tradisional sudah bukan zamannya lagi. Pemimpin legal-rasional yang lahir lewat merit system menjadi pilihan tepat saat ini. Untuk melahirkan pemimpin perlu adanya sistem kaderisasi. Peran dominan kelompok ideologis mahasiswa tertentu dalam percaturan politik kampus tak perlu ditanggapi secara sinis apalagi sarkastis. Keberhasilan mereka (forum atau kafe, netral atau memihak) memperoleh kedudukan di lembaga mahasiswa kampus dipastikan adalah hasil kaderisasi yang matang dan terencana.
Bagi mahasiswa baru memasuki kampus merupakan dunia berbeda. Peralihan dari masa remaja ke masa dewasa awal menjadikan mereka ibarat gelas kosong. Gelas kosong ini siap diisi dengan ragam ‘minuman’ pemikiran dan ideologi di kampus. Keadaan ini tentu dimanfaatkan organ pergerakan mahasiswa untuk menjaring kader-kader baru yang akan menerima estafet kepemimpinan. Mahasiswa baru diharapkan tidak gamang mendengar fenomena ini karena Anda adalah calon intelektual yang pasti punya sense of choice. Ibarat menyeleksi uang kertas, lakukanlah “lihat, raba dan terawang”. Tidak bisa dipungkiri pemimpin nasional lahir dari rahim dari organ pergerakan mahasiswa kampus maupun ekstra kampus. Semisal Amien Rais, Hidayat Nur Wahid, Rama Pratama dan Anas Urbaningrum dari golongan politisi serta Warsito, (akademisi ITB kandidat penerima Nobel), Andrinof A. Chaniago dan Taufik Abdullah dari kalangan cendekiawan dan akademisi.
Menyikapi dinamika mahasiswa di kampus, R. Andriadi Achmad (2007) membagi mahasiswa ke dalam empat tipe atau tipologi mahasiswa. Pertama, tipe mahasiswa berhasil dalam perkuliahan, ditandai dengan Indeks Prestasi (IP) tinggi serta aktif dan berhasil dalam berbagai organisasi. Tipe ini berada di puncak piramida dan langka ditemukan. Kelompok pertama ini merupakan tipe ideal bagi mahasiswa, orang tua dan masyarakat. Universitas Andalas (Unand) adalah perguruan tinggi pertama di Sumatera yang menganugerahkan Bintang Aktivis Mahasiswa kepada lulusannya yang memilki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi dan memilki kredit poin di berbagai organisasi kemahasiswaan. Langkah Unand ini perlu ditiru oleh perguruan tinggi lain untuk menghargai soft skill yang diperoleh mahasiswa dengan berorganisasi. Hal ini menjadi penting mengingat ilmu berorganisasi tidak pernah dipelajari secara khusus di bangku perkuliahan.
Kedua, tipe mahasiswa biasa-biasa dalam perkuliahan, dicirikan dengan indeks prestasi sedang serta aktif dan berhasil dalam berbagai oeganisasi. Mahasiswa tipe kedua pada piramida ini, bukan kurang pandai atau mampu dalam perkuliahan. Akan tetapi, kebanyakan mahasiswa tipe ini, belum mampu menguasai atau me-manage waktu antara kuliah dan organisasi secara pofesional dan proporsional.
Ketiga, tipe mahasiswa berhasil dalam perkuliahan, mempunyai karakteristik IP tinggi, tetapi tidak terlibat dalam organisasi. Mahasiswa ini menempati urutan ketiga dalam piramida. Kerap dijuluki mahasiswa rumahan, belajar menjadi santapan setiap waktu dan lebih senang di rumah ketimbang membangun tata pergaulan di tengah-tengah kehidupan kampus maupun masyarakat.
Keempat, tipe mahasiswa memprihatinkan bahkan gagal dalam perkuliahan. IP pas-pasan bahkan gagal serta tidak aktif dalam organisasi menunjukkan mahasiswa lapis terbawah piramida ini. Mahasiswa tipe ini kerapkali membangun citra buruk mahasiswa di tengah-tengah masyarakat. Bahkan siap menambah deretan panjang angka pengangguran.
Nah, mahasiswa baru silakan memilih, akan berada di mana posisi Anda. Selamat datang intelektual muda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar